Rabu, Oktober 07, 2009

WARUNG KEJUJURAN



Amsal 16:11, “Maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata.”
Putu Setia, dalam kolomnya di Koran Tempo, bertutur tentang  “warung kejujuran” di lereng Gunung Batukaru, Bali, tempat pemukiman para petani kopi. Warung itu menjajakan makanan ringan dan rokok ketengan. Tidak ada yang menjaganya. 
Pembeli bisa mengambil apa saja, lalu membayar sesuai dengan harganya. Hebatnya, pemilik warung mengaku tidak pernah rugi. Para pembeli tidak pernah berutang. Mereka memasukkan sendiri uang bayaran ke kaleng bekas wadah biskuit. Pemilik warung berkomentar, “Kalau ada orang mengambil jajan di dalam stoples dan tidak membayar, kan sama saja dengan kuluk, hina sekali manusia itu.” Kuluk berarti anjing dalam bahasa setempat.
Alangkah menyenangkan jika setiap transaksi bisnis bisa berlangsung seperti itu. Entah kita membeli atau menjual, menghasilkan produk atau menawarkan jasa, kita dapat membedakan antara praktik yang jujur dan yang tidak jujur. Kadang-kadang kita tergoda untuk bertindak tidak jujur agar dapat lebih maju daripada saingan kita atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Namun, Tuhan menghendaki kita untuk bersikap seperti para pembeli di warung tadi.
Dalam terjemahan Alkitab versi New Living, nas hari ini berbunyi, “Tuhan menuntut neraca dan timbangan yang akurat.” Tuhan menuntut kejujuran. Jika kita ingin menaati Tuhan, tidak ada pilihan lain. Kita tidak dapat berdalih untuk membenarkan praktik bisnis yang menyimpang. Memang tidak selalu mudah, tetapi kita dapat meminta hikmat dan keberanian dari Allah agar secara konsisten dapat bersikap jujur.
 KEJUJURAN ADALAH MATA UANG YANG PALING MAHAL

Tidak ada komentar: