Amsal 16:11, “Maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti
seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata.”
Putu Setia, dalam
kolomnya di Koran Tempo, bertutur tentang “warung kejujuran” di lereng Gunung Batukaru,
Bali, tempat pemukiman para petani kopi. Warung itu menjajakan makanan ringan
dan rokok ketengan. Tidak ada yang menjaganya.
Pembeli bisa mengambil apa saja,
lalu membayar sesuai dengan harganya. Hebatnya, pemilik warung mengaku tidak
pernah rugi. Para pembeli tidak pernah berutang. Mereka memasukkan sendiri uang
bayaran ke kaleng bekas wadah biskuit. Pemilik warung berkomentar, “Kalau ada
orang mengambil jajan di dalam stoples dan tidak membayar, kan sama saja dengan
kuluk, hina sekali manusia itu.” Kuluk berarti anjing dalam bahasa setempat.
Alangkah
menyenangkan jika setiap transaksi bisnis bisa berlangsung seperti itu. Entah
kita membeli atau menjual, menghasilkan produk atau menawarkan jasa, kita dapat
membedakan antara praktik yang jujur dan yang tidak jujur. Kadang-kadang kita tergoda
untuk bertindak tidak jujur agar dapat lebih maju daripada saingan kita atau
memperoleh keuntungan yang lebih besar. Namun, Tuhan menghendaki kita untuk
bersikap seperti para pembeli di warung tadi.
Dalam terjemahan
Alkitab versi New Living, nas hari ini berbunyi, “Tuhan menuntut neraca dan
timbangan yang akurat.” Tuhan menuntut kejujuran. Jika kita ingin menaati
Tuhan, tidak ada pilihan lain. Kita tidak dapat berdalih untuk membenarkan
praktik bisnis yang menyimpang. Memang tidak selalu mudah, tetapi kita dapat
meminta hikmat dan keberanian dari Allah agar secara konsisten dapat bersikap
jujur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar