Sumber : Herman Rosenblat, Miami
Beach, Florida (true story)
Agustus 1942, Piotrkow, Polandia.
Langit mendung pagi itu ketika kami menunggu dengan gelisah.
Semua pria, wanita dan anak-anak dari perkampungan Yahudi Piotrokow telah digiring
ke arah sebuah lapangan. Menurut kabar yang terdengar, kami akan dipindahkan.
Ayahku baru saja meninggal karena penyakit tifus, yang berjangkit dengan ganas
di perkampungan yang padat ini. Ketakutanku yang paling besar adalah apabila keluarga
kami dipisahkan. "Apapun yang kamu lakukan," Isidore, kakakku yang tertua,
berbisik, "Jangan sebutkan umurmu yang sebenarnya. Katakan saja kamu
enam belas tahun!" Aku termasuk anak lelaki yang tinggi untuk umur 11 tahun, sehingga aku dapat menuakan diri. Mungkin dengan cara ini aku dianggap menjadi pekerja yang berguna.
enam belas tahun!" Aku termasuk anak lelaki yang tinggi untuk umur 11 tahun, sehingga aku dapat menuakan diri. Mungkin dengan cara ini aku dianggap menjadi pekerja yang berguna.
Seorang serdadu Nazi menghampiriku, derap sepatu boot-nya
menghentak di bebatuan. Ia memandangku dari atas ke bawah, kemudian menanyakan
umurku. "Enam belas," jawabku. Ia menyuruhku ke sisi kiri, dimana tiga
kakakku dan para pria lain yang sehat sudah berbaris.
Ibuku dikumpulkan di sebelah kanan bersama para wanita lain,
anak-anak, orang-orang sakit dan orang-orang tua. Aku berbisik kepada Isidore, "Kenapa?"
tanyaku. Ia tidak menjawab. Aku berlari ke arah mama dan berkatabahwa aku ingin
ikut dengannya. "Jangan!" katanya dengan tegas. "Pergilah, jangan
mengganggu. Pergilah bersama kakak-kakakmu. " Ibu tak pernah berkat dengan
keras seperti itu sebelumnya. Tetapi aku mengerti. Ia sedang melindungiku. Ia
mengasihiku sedemikian besar, sehingga kali ini ia berpura-pura sebaliknya.
Itulah kali terakhir aku melihat ibu.
Kakak-kakakku dan aku sendiri dipindahkan dalam truk ternak ke
Jerman. Kami tiba di Kamp Konsentrasi Buchenwald pada malam hari seminggu kemudian
dan kami digiring ke sebuah barak yang sesak. Hari berikutnya, kami diberi pakaian
seragam dan nomor pengenal. "Jangan panggil aku Herman lagi." kataku kepada
kakak-kakakku. "Panggil saja si 94983". Aku ditugaskan untuk bekerja di
bagian krematorium di kamp itu, mengangkut jenazah ke dalam elevator yang digerakkan
tangan. Aku juga merasa sudah mati. Hatiku beku, aku telah menjadi sebuah angka
belaka. segera aku dan kakak-kakakku dikirim ke Schlieben, salah satu cabang
kamp Buchenwald, dekat Berlin.
Pada suatu pagi aku pikir aku mendengar suara ibuku
"Nak," katanya dengan lembut namun jelas, "Aku mengirimkan kepadamu
seorang malaikat." Kemudian aku bangun. Cuma mimpi. Mimpi yang indah. Namun
di tempat seperti ini mana ada malaikat? Yang ada hanya bekerja. Dan kelaparan.
Dan ketakutan.
Beberapa hari kemudian, aku sedang berjalan-jalan keliling kamp,
di belakang barak-barak, dekat pagar yang beraliran listrik dimana para penjaga
tidak mudah melihat. Aku sendirian. Di seberang pagar itu, aku melihat seseorang.
Seorang gadis muda dengan rambut ikal
yang berkilauan. Ia setengah bersembunyi di belakang pohon murad. Aku melihat
ke sekeliling untuk memastikan tidak ada orang lain yang melihatku.
Aku memanggilnya pelan-pelan dalam bahasa Jerman "Apakah
kamu punya makanan?" Ia tidak mengerti. Aku bergeser sedikit ke arah pagar
dan mengulangi pertanyaan tadi dalam bahasa Polandia. Ia melangkah maju. Aku kurus
kering, dengan kain rombeng menutup sekeliling kakiku, namun gadis itu nampak
tidak ketakutan. Di matanya kulihat kehidupan. Ia mengambil sebutir apel dari
jaket wolnya dan melemparkannya ke arah pagar. Aku menangkap buah itu, dan
begitu aku akan berlari menjauh, aku mendengar perkataannya yang lemah,
"Aku akan ketemu kamu lagi besok."
Aku kembali lagi ke tempat yang sama dekat pagar itu pada waktu
yang sama setiap hari. Ia selalu ada di sana dengan makanan buatku: sepotong
roti atau, lebih bagus lagi, sebutir apel. Kami tidak berani ngobrol atau berlama-lama.
Kalau kami tertangkap, kami bisa mati. Aku tidak mengenal gadis itu, ia cuma
gadis desa, kecuali bahwa ia mengerti bahasa Polandia. Siapa namanya? Mengapa
ia mempertaruhkan nyawanya bagiku? Aku selalu berharap akan pemberian
makanannya yang dilemparkan gadis ini dari seberang pagar, sebagai makanan yang
menyehatkan dalam bentuk roti dan apel.
Hampir tujuh bulan kemudian, kakak-kakakku dan aku dimuat ke
dalam sebuah kereta batu bara dan dikapalkan ke kamp Theresienstadt di
Cekoslovakia. "Jangan datang lagi," kataku kepada gadis itu.
"Kami akan pergi besok." Aku berbalik menuju barak-barak dan tak
menoleh ke belakang lagi, bahkan aku juga tidak mengatakan selamat tinggal
kepada gadis yang aku tak tahu namanya, gadis pembawa apel itu.
Kami berada di Theresienstadt selama tiga bulan. Perang mulai
mereda dan pasukan Sekutu mulai mendekat, namun nasibku rupanya sudah
ditentukan. Pada tanggal 10 Mei, 1945, aku sudah dijadwalkan untuk mati di
kamar gas pada jam 10 pagi. Di dalam ketenangan fajar pagi hari, aku berusaha
mempersiapkan diriku. Begitu sering kematian nampaknya sudah siap menjemputku,
namun agaknya aku selalu selamat. Kini, semuanya sudah selesai. Aku memikirkan orangtuaku.
Paling tidak, aku pikir kami akan dipertemukan di akhirat.
Pada jam 8 pagi ada keributan. Aku mendengar teriakan, dan
melihat orang-orang berlarian ke segala arah ke luar kamp. Aku pergi bersama kakak-kakakku.
Pasukan Rusia telah membebaskan kamp ini. Pintu kamp terbuka lebar. Setiap orang
berlarian, begitu juga aku.
Secara mengherankan, semua kakak-kakakku selamat. Aku tidak tahu
bagaimana caranya. Namun aku tahu bahwa gadis pemberi apel itu telah menjadi
kunci bagi kelangsungan hidupku. Di tempat yang nampaknya kejahatan merajalela,
kebaikan seseorang telah menyelamatkan hidupku, telah memberiku harapan di tempat
dimana tidak ada harapan. Ibuku telah berjanji mengirimkan seorang malaikat,
dan malaikat itu telah datang.
Akhirnya aku mencapai Inggris dimana aku disponsori oleh sebuah
yayasan Yahudi, diinapkan di sebuah hostel dengan para pemuda lain yang telah selamat
dari Pembantaian Massal dan dilatih di bidang elektronika. Kemudian aku pergi
ke Amerika, dimana kakakku Sam telah lebih dahulu pindah. Aku masuk dinas
ketentaraan Amerika Serikat selama Perang Korea, dan kembali ke Kota New York
setelah dua tahun. Pada bulan Agustus 1957 aku membuka toko service elektronika
milikku sendiri. Aku mulai hidup menetap.
Pada suatu hari, temanku Sid, yang aku kenal di Inggris,
menelponku. "Aku punya teman kencan. Gadis ini punya kenalan seorang
Polandia. Yuk, kita ajak kencan mereka berdua." Kencan buta? Tidak, bukan
untukku. Namun Sid terus mendesakku, dan beberapa hari kemudian kami pergi
menuju Bronx untuk menjemput teman kencannya dan temannya Roma. Aku harus
mengakui bahwa, untuk kencan buta seperti ini tidaklah terlalu buruk. Roma adalah
seorang perawat di RS Bronx. Ia gadis yang baik dan cerdas. Juga cantik dengan
rambut ikal yang cokelat, dan dengan bola mata hijau seperti buah badam yang
berkilauan dengan kehidupan.
Kami berempat pergi ke Pulau Coney. Roma adalah gadis yang mudah
diajak berbicara, enak diajak bergaul. Ia juga ternyata bosan dengan kencan
buta. Kami berdua hanya menolong para sahabat kami. Kami berjalan-jalan di sepanjang
pantai, menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang bertiup dari Samudera
Atlantik, dan kemudian makan malam di pantai. Aku tak dapat mengingat saat yang
lebih indah lagi.
Kami semua bergegas menuju mobil Sid, aku dan Roma duduk di
kursi belakang. Sebagai seorang Yahudi Eropa yang telah selamat dari perang,
kami menyadari bahwa banyak hal yang belum kami bicarakan di antara kami. Ia
memulai topik itu ketika ia bertanya, "Dimana kamu," tanyanya lembut,
"ketika perang?" "Di kamp," kataku, sambil mengingat kenangan
mengerikan yang masih jelas terekam, kehilangan keluarga yang tak terpulihkan. Aku
telah berjuang untuk melupakannya. Namun kita tak dapat melupakannya.
Ia mengangguk. "Keluargaku bersembunyi di sebuah peternakan
di Jerman, tak jauh dari Berlin," katanya kepadaku. "Ayahku mengenal
seorang pendeta, dan ia memberikan kami dokumen-dokumen keturunan Jerman."
Aku dapat membayangkan betapa ia harus menanggung penderitaan
juga, ketakutan yang selalu menyertai. Dan sekarang di sinilah kami, berdua selamat,
di dunia yang baru. "Di sana ada sebuah kamp di dekat peternakan itu."
Roma melanjutkan. "Aku melihat seorang anak laki-laki dan aku melemparkan
apel kepadanya setiap hari." Kebetulan yang sangat mengherankan kalau ia
menolong anak lelaki lain. "Seperti apa rupa anak lelaki itu?" tanyaku.
"Ia tinggi, kurus, kelaparan. Aku pasti menemuinya setiap hari selama enam
bulan." Hatiku berdetak kencang. Aku tak dapat mempercayainya! Mustahil.
"Apakah ia mengatakan kepadamu pada suatu hari bahwa kamu tidak perlu
menemuinya lagi karena ia harus meninggalkan Schlieben?" Roma menatapku
dengan heran. "Ya." "Dialah aku!" Aku meluap dengan sukacita
dan keheranan, perasaanku berkecamuk hebat. Aku tak percaya. Malaikatku!
"Aku tak akan membiarkanmu pergi." kataku kepada Roma.
Dan di kursi belakang
mobil itu dalam suasana kencan buta, aku melamar Roma. Aku tidak ingin menunggu lagi. "Kamu gila ya!" katanya tertawa. Namun ia mengajakku menemui orangtuanya dalam suatu makan malam Sabat pada minggu berikutnya.
Banyak hal yang ingin kuketahui tentang Roma, namun hal yang paling penting aku ketahui: keteguhan hatinya, kebaikannya. Selama beberapa bulan, di dalam keadaan yang terburuk, ia selalu datang ke pagar dan memberikanku pengharapan. Sekarang aku telah menemukannya lagi, aku tidak akan pernah membiarkannya pergi. Pada hari itu, ia menyetujui lamaranku. Dan aku selalu setia pada janjiku. Setelah hampir lima puluh tahun perkawinan kami, dengan dua orang anak dan tiga cucu, aku tidak pernah membiarkannya pergi.
mobil itu dalam suasana kencan buta, aku melamar Roma. Aku tidak ingin menunggu lagi. "Kamu gila ya!" katanya tertawa. Namun ia mengajakku menemui orangtuanya dalam suatu makan malam Sabat pada minggu berikutnya.
Banyak hal yang ingin kuketahui tentang Roma, namun hal yang paling penting aku ketahui: keteguhan hatinya, kebaikannya. Selama beberapa bulan, di dalam keadaan yang terburuk, ia selalu datang ke pagar dan memberikanku pengharapan. Sekarang aku telah menemukannya lagi, aku tidak akan pernah membiarkannya pergi. Pada hari itu, ia menyetujui lamaranku. Dan aku selalu setia pada janjiku. Setelah hampir lima puluh tahun perkawinan kami, dengan dua orang anak dan tiga cucu, aku tidak pernah membiarkannya pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar