Saya
adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas
terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosen sangat inspiratif,
dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya.
Tugas
terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama "SMILLING". Seluruh siswa
diminta untuk pergi ke luar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing
yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu setiap siswa
diminta untuk mempresentasikan didepan kelas. Saya adalah seorang yang periang,
mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir,
tugas ini sangatlah mudah.
Setelah menerima tugas tersebut, saya bergegas menemui suami saya dan anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi ke restoran McDonald's yang berada di sekitar kampus. Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong.
Setelah menerima tugas tersebut, saya bergegas menemui suami saya dan anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi ke restoran McDonald's yang berada di sekitar kampus. Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong.
Ketika
saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang di
sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri dibelakang
saya ikut menyingkir keluar dari antrian.
Suatu
perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat mengapa mereka
semua pada menyingkir ? Saat berbalik itulah saya membaui suatu "bau badan
kotor" yang cukup menyengat, ternyata tepat di belakang saya berdiri dua
orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya bingung, dan tidak mampu
bergerak sama sekali.
Ketika
saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek,
yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang "tersenyum" kearah saya. Lelaki
ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia
menatap kearah saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima 'kehadirannya'
di tempat itu.
Ia
menyapa "Good day!" sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung
beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan. Secara
spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh 'tugas' yang
diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan
gerakan aneh berdiri di belakang temannya. Saya segera menyadari bahwa lelaki
kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah
"penolong" nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa
ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka, dan kami
bertiga tiba-tiba saja sudah sampai didepan counter.
Ketika
wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya
persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera
memesan "Kopi saja, satu cangkir, Nona". Ternyata dari koin yang
terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (sudah menjadi aturan
restoran disini, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh,
maka orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan
badan.
Tiba-tiba
saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa
saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh
terpisah dari tamu-tamu lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka.
Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa semua mata di restoran itu
juga sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua 'tindakan' saya.
Saya
baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya
menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua
paket makan pagi (diluar pesanan saya) dalam nampan terpisah.
Setelah
membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu
untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja/tempat duduk suami dan anak
saya. Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut kearah
meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan
nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas
punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil berucap
"makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua."
Kembali
mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah
berkaca-kaca dan dia hanya mampu berkata "Terima kasih banyak,
nyonya". Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya
saya berkata "Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian,
Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ketelinga saya
untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian."
Mendengar
ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua
sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu. Saya
sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan
bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka.
Ketika saya duduk, suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum
dan berkata "Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi
istriku, yang pasti, untuk memberikan 'keteduhan' bagi diriku dan anak-anakku."
Kami
saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar-benar bersyukur
dan menyadari, bahwa hanya karena 'bisikan-NYA' lah kami telah mampu
memanfaatkan 'kesempatan' untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang
sedang sangat membutuhkan.
Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin 'berjabat tangan' dengan kami.
Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin 'berjabat tangan' dengan kami.
Salah
satu diantaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap
"Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang
berada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan oleh-NYA, saya akan
lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami."
Saya
hanya bisa berucap "terimakasih" sambil tersenyum. Sebelum beranjak
meninggalkan restoran, saya sempatkan untuk melihat kearah kedua lelaki itu,
dan seolah ada 'magnit' yang menghubungkan batin kami, mereka langsung menoleh
kearah kami sambil tersenyum, lalu melambai-lambaikan tangannya kearah kami.
Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan
terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar-benar 'tindakan' yang tidak
pernah terpikir oleh saya. Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa
'kasih sayang' Tuhan itu sangat HANGAT dan INDAH sekali.
Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan cerita ini ditangan saya. Saya menyerahkan paper saya kepada dosen saya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain ?" dengan senang hati saya mengiyakan.
Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan cerita ini ditangan saya. Saya menyerahkan paper saya kepada dosen saya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain ?" dengan senang hati saya mengiyakan.
Ketika akan memulai
kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan paper saya. Ia
mulai membaca, para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan
ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen
dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu
seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga
para siswi yang duduk di deretan belakang di dekat saya diantaranya datang
memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.
Diakhir
pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip
salah satu kalimat yang saya tulis di akhir paper saya.
TERSENYUMLAH
DENGAN HATIMU DAN KAU AKAN MENGETAHUI BETAPA DASYAT DAMPAK YANG DITIMBULKAN
OLEH SENYUMMU ITU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar